
Headline24jam.com – Ahli klimatologi dari BRIN, Erma Yulihastin, menanggapi fenomena hujan lebat yang terjadi belakangan ini di tengah musim kemarau, yang seharusnya berlangsung kering. Meskipun diperkirakan musim hujan akan dimulai bulan depan, hujan deras terus terjadi sejak beberapa hari terakhir.
Anomali Cuaca di Musim Kemarau
Erma menjelaskan bahwa secara tradisional, musim kemarau ditandai dengan curah hujan di bawah 50 mm per dasarian selama tiga dasarian berturut-turut. "Baru-baru ini ada periode tanpa hujan selama 10 hari, tetapi segera diikuti dengan hujan lebat," ujarnya pada 20 Agustus. Kondisi ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat lagi menyebutnya sebagai musim kemarau.
Kemarau Basah dan Inkonsistensi Iklim
Menurut Erma, istilah yang tepat kini adalah "kemarau basah". Meskipun angin menunjukkan karakteristik musim kemarau, hujan masih sering muncul. Ini menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pola iklim saat ini yang perlu dicermati.
Prediksi Musim Hujan dan Dampaknya
Musim hujan diprediksi mulai terjadi pada bulan September, namun curah hujan sudah meningkat saat ini. Fenomena ini dikenal sebagai musim pancaroba, yang memang seharusnya muncul lebih mendekati bulan September.
Implikasi bagi Pertanian
Erma menyoroti pentingnya perhatian pemerintah terhadap dampak inkonsistensi iklim ini, terutama dalam sektor pangan. Ketiadaan musim kemarau membuat petani kesulitan mengatur waktu tanam, termasuk jagung dan pemberian pupuk.
Rekomendasi: Smart Farming
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah disarankan untuk menerapkan metode smart farming. Pendekatan ini tidak hanya mengandalkan sensor, tetapi juga mencocokkan proses bertani dengan kondisi iklim terkini. Prediksi iklim yang akurat sangat penting bagi petani dalam menentukan waktu tanam dan pemupukan, serta dalam memilih komoditas yang akan ditanam sepanjang tahun.
Dengan memahami dan mengadaptasi terhadap perubahan cuaca, diharapkan sektor pertanian dapat tetap produktif dan berkelanjutan.