
Headline24jam.com – Dunia motorsport kini kembali disorot, terutama terkait dengan skandal teknologi yang melibatkan tim balap Toyota di ajang World Rally Championship (WRC). Kejadian ini menarik perhatian, mengingat dominasi Toyota pada tahun 1992 hingga 1994, kala tiga pembalapnya—Carlos Sainz, Juha Kankkunen, dan Didier Auriol—membawa tim ini meraih gelar juara secara berturut-turut. Namun, prestasi tersebut harus berakhir pada tahun 1995, saat regulasi baru diberlakukan.
Temuan Celah dalam Regulasi
Menghadapi persaingan yang semakin ketat, teknisi dan engineer Toyota Team Europe (TTE) mencari celah ‘abu-abu’ dalam regulasi, terutama dalam penggunaan mesin 3S-GTE yang dipasang pada model Celica GT4. Celah ini ditemukan pada bagian turbocharger yang dilengkapi dengan restrictor plate, sebuah alat yang dirancang untuk membatasi asupan udara dan, dengan demikian, mengendalikan tenaga yang dihasilkan oleh mesin.
Skandal Restrictor Plate
Restrictor plate berfungsi untuk memastikan bahwa mobil yang menggunakannya tidak melebihi batas kecepatan tertentu, menjaga kesetaraan dalam kompetisi. Namun, setelah regulasi terbaru yang diterapkan pada tahun 1995, tim TTE secara cerdik menemukan cara untuk memaksimalkan pemanfaatan alat tersebut. Skandal ini baru terungkap saat dua balapan menjelang akhir musim, ketika ditemukan keretakan halus pada restrictor plate Celica yang digunakan.
Sanksi Bagi Toyota
Meski restrictor plate yang dimiliki tim dinyatakan legal, investigasi menunjukkan bahwa ada spring atau per yang tersembunyi, mendorong pelat lebih jauh dari posisi yang ditentukan regulasi. Dengan cara ini, aliran udara masuk ke turbo tanpa melalui restrictor, memberikan tambahan tenaga sekitar 50 daya kuda (dk). Akibat skandal ini, Toyota akhirnya dilarang mengikuti WRC selama satu musim.
Kasus Toyota mengingatkan semua pihak dalam dunia balap tentang pentingnya kepatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan dan bagaimana inovasi teknologi dapat menjadi pedang bermata dua—mendatangkan keberhasilan sekaligus risiko sanksi.