Headline24jam.com – Pengaruh propaganda ideologi teror yang semakin meluas kini menjadi perhatian penting. Mengacu pada pernyataan Muhammad Abdullah Darraz, akademisi dari Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka, konten kekerasan telah menjadi fenomena yang masif dan mengkhawatirkan, terutama bagi generasi muda. Dalam sebuah pertemuan di Jakarta pada 18 November 2025, ia menggarisbawahi transisi pola penyebaran pemikiran kekerasan yang berlangsung di kalangan pelajar dan remaja.
Desentralisasi Propaganda Kekerasan
Darraz menekankan bahwa generasi muda kini lebih mudah terpapar propaganda radikalisme melalui platform digital. Sebelumnya, propaganda hanya dapat diakses melalui struktur organisasi teroris formal, namun sekarang, individu dan kelompok kecil bebas memproduksi dan menyebarkan konten kekerasan menggunakan media sosial dan forum online.
“Propaganda kelompok radikal semakin terdesentralisasi, diciptakan oleh individu yang tidak selalu terikat dengan organisasi tertentu,” ujar Darraz.
Konten Radikal yang Menarik
Darraz juga mencatat bahwa siswa dan individu di lingkungan pendidikan berpotensi menjadi penulis dan konsumen konten radikal. Mereka tidak perlu bergabung dengan jaringan teroris untuk terpapar ideologi kekerasan. Kemudahan dalam membuat konten sederhana, seperti meme dan video pendek, membuat penyebaran ideologi ini semakin menarik bagi anak muda.
Dampak Kesehatan Mental
Di samping konten kekerasan, kesehatan mental pelajar kadang terabaikan, memperburuk situasi. Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi contoh bahwa teror tidak selalu melibatkan organisasi teroris; inspirasi untuk tindak kekerasan bisa berasal dari beragam ideologi, termasuk white supremacy.
Menurut Darraz, kekerasan di kalangan muda bersifat kompleks dan tidak homogen, sering kali memanfaatkan kerentanan psikologis mereka. “Pelajar yang merasa terpinggirkan sangat rentan terhadap pengaruh ekstremisme,” terang dia.
Tugas Ekosistem Pendidikan
Darraz berharap ekosistem pendidikan dapat menjadi pelindung yang kuat terhadap sebaran ideologi intoleransi dan kekerasan. Ia menyerukan semua pihak—orang tua, guru, dan pemerintah—untuk aktif dalam membangun lingkungan pendidikan yang inklusif dan responsif terhadap masalah psikologis pelajar.
“Sekolah harus menjadi ruang aman agar tidak ada aksi kekerasan yang terjadi karena masalah yang tidak teratasi,” tutup Darraz.
Dengan menerapkan langkah-langkah preventif dan pendekatan suportif, Darraz percaya ekosistem pendidikan dapat bertransformasi dari sasaran menjadi benteng penangkal ideologi yang membahayakan.