Headline24jam.com – Wacana pengukuhan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menuai kritik tajam dari aktivis dan pakar hukum. Mereka berargumen bahwa hal ini dapat mengaburkan sejarah reformasi dan merusak fondasi demokrasi Indonesia.
Kritik terhadap Usulan Pemberian Gelar
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, menjadi isu hangat di tengah masyarakat. Aktivis menilai langkah ini bukan hanya persoalan kelayakan, tetapi juga berpotensi menggamburkan pemahaman sejarah negara.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa penganugerahan gelar tersebut membawa implikasi serius terhadap sejarah dan arah ketatanegaraan Indonesia. Ia berpendapat, “Pemberian gelar ini bukan hanya perkara pantas atau tidak pantas. Ini soal bagaimana kita memahami sejarah dan arah demokrasi Indonesia ke depan.”
Reformasi 1998 yang Terancam Terkaburkan
Menurut Bivitri, menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional dapat mengaburkan landasan historis reformasi 1998. Reformasi tersebut melahirkan perubahan institusional yang penting, seperti pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penguatan pasal hak asasi manusia dalam UUD 1945. Bivitri menambahkan, “Kalau Soeharto dianggap pahlawan, seolah-olah kita kehilangan dasar sejarah atas lahirnya lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi.”
Usulan Berpotensi Memunculkan Motif Politik
Bivitri juga memperhatikan cara Kementerian Sosial mengajukan usulan Soeharto bersama tokoh lainnya, seperti aktivis buruh Marsinah. Ia menilai hal ini seolah menjadikan proses penganugerahan gelar tersebut prosedural biasa. “Kalau Soeharto diusulkan sendirian, mungkin masyarakat lebih mudah menolak. Tapi, jika bersama tokoh lain, kita jadi ragu dan sungkan,” jelasnya.
Penolakan dari Amnesty International
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menolak keras usulan tersebut. Ia menilai penganugerahan gelar kepada Soeharto sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi serta penderitaan korban pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru.
“Jika usulan ini terus dilanjutkan, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo,” ujar Usman. Ia mengingatkan bahwa kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 adalah hasil gerakan rakyat yang menuntut demokratisasi setelah 32 tahun pemerintahan otoriter.
Pelanggaran HAM di Masa Kepemimpinan Soeharto
Usman juga menyoroti bahwa masa pemerintahan Soeharto dikelilingi oleh pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan, termasuk pembantaian massal 1965-1966 dan peristiwa Tanjung Priok 1984. “Negara telah mengakui peristiwa-peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, tidak ada satu pun aktor utama, termasuk Soeharto, yang dimintai pertanggungjawaban,” tuturnya.
Penutup
Usman menekankan bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat daripada memberikan penghargaan kepada pelaku. “Soeharto tidak layak berada di daftar usulan pahlawan nasional. Hentikan upaya pemutarbalikan sejarah ini,” tegasnya.