
Headline24jam.com – Komisi XIII DPR RI mengadakan rapat dengar pendapat umum bersama masyarakat, mahasiswa, dan perwakilan desa dari Riau. Rapat ini bertujuan untuk menanggapi keluhan terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan pada Senin, 29 September.
Akar Masalah Penataan Hutan di Riau
Juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Azis, menjelaskan bahwa permasalahan berawal dari SK 173/1986 yang menunjuk kawasan hutan di Riau. Ia menyoroti bahwa ada oknum pemerintah yang gagal melaksanakan penataan batas, membuat ribuan desa tidak memiliki kepastian hukum dan diklaim sebagai bagian dari kawasan hutan.
Dugaan Penyalahgunaan Kebijakan
Abdul Azis menegaskan, sejak 1986 kawasan hutan tidak pernah dikukuhkan sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Kehutanan. Hal ini mengakibatkan masyarakat dituduh sebagai perambah atau penduduk ilegal di tanah yang telah dihuni mereka sebelum TNTN ditetapkan.
Penunjukan kawasan hutan TNTN pada 2004 dan 2009 meliputi lebih dari 80 ribu hektare, tanpa terlebih dahulu menetapkan batas yang jelas. Bahkan, kawasan tersebut sebelumnya dikelola oleh perusahaan sejak tahun 1970-an.
Dampak Kebijakan Terhadap Masyarakat
Perwakilan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan, Wandri Simbolon, menyampaikan bahwa kebijakan TNTN berdampak langsung kepada tujuh desa yang dihuni sekitar 50 ribu jiwa. Ia menambahkan, keberadaan satuan tugas penertiban menimbulkan ketakutan, bahkan mengarah pada dugaan kekerasan terhadap anak-anak.
Wandri menolak rencana relokasi, karena dapat menghancurkan rumah, sekolah, dan tempat ibadah yang telah ada selama puluhan tahun. “Ada kasus di mana anak SD dicekik aparat dengan alasan bercanda,” ujarnya.
Kerugian Ekonomi yang Signifikan
Pembatasan aktivitas warga melalui pemasangan portal dan larangan menanam, menurut Wandri, memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Kerugian akibat kebijakan tersebut diperkirakan mencapai Rp708 miliar, terutama dari utang KUR, leasing, dan pajak yang tidak bisa dibayar oleh warga.
Kontroversi di Indragiri Hulu
Keluhan serupa juga diajukan oleh Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan di Indragiri Hulu. Ketua forum, Irwantoni, mengungkapkan bahwa desanya yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tiba-tiba ditetapkan sebagai kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) berdasarkan SK 903/2016.
Kehadiran masyarakat yang berdemo di DPR menunjukkan pentingnya dialog antara pemerintah dan warga untuk menyelesaikan permasalahan ini. Upaya cepat dan adil diperlukan untuk menghindari pelanggaran HAM yang lebih lanjut.