Headline24jam.com – Keputusan PT Vivo Energy Indonesia dan BP-AKR untuk membatalkan pembelian base fuel impor dari Pertamina diakibatkan oleh temuan kandungan etanol 3,5%. Langkah ini mencuat dalam suasana perdebatan mengenai biofuel di Indonesia, menegaskan konflik antara dukungan pemerintah terhadap energi hijau dan kekhawatiran teknis dari operator SPBU swasta.
Wakil Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, mengonfirmasi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI bahwa kandungan etanol menjadi penyebab utama penolakan meski angka 3,5% masih di bawah batas regulasi nasional (E20). “Isu yang disampaikan kepada rekan-rekan SPBU ini adalah mengenai konten etanol. Kandungannya aman bagi karakteristik spesifikasi produk masing-masing, karena setiap merek memiliki spesifikasi berbeda,” jelas Achmad.
Dampak Etanol pada Mesin Kendaraan
Meskipun etanol dikenal sebagai peningkat oktan yang ramah lingkungan, sifat kimianya dapat menimbulkan risiko signifikan bagi sistem bahan bakar. Hal ini terutama terjadi pada kendaraan tua dan infrastruktur yang tidak dirancang untuk menangani campuran ini.
1. Risiko Korosi Akibat Sifat Higroskopis
Etanol merupakan bahan higroskopis yang mudah menyerap air dari udara. Ketika air masuk ke dalam tangki bensin, bisa terjadi pemisahan fase, di mana air menarik etanol dari bensin dan membentuk lapisan asam di bagian bawah tangki. Mix air-etanol yang lebih pekat dapat mempercepat terjadinya korosi pada komponen logam dalam tangki, saluran bahan bakar, dan pompa.
2. Kerusakan Komponen Non-Logam
Sebagai pelarut yang kuat, etanol dapat merusak komponen elastomer, seperti karet dan plastik, dalam sistem bahan bakar. Ini dapat mengakibatkan seal, gasket, dan selang menjadi getas, melunak, atau mengembang, yang berujung pada kebocoran bahan bakar. Selain itu, etanol dapat melarutkan endapan lama di saluran, yang dapat menyumbat filter bahan bakar atau injektor.
3. Penurunan Efisiensi Jarak Tempuh
Walaupun etanol memiliki nilai oktan yang lebih tinggi, energi yang terkandung per liter lebih rendah dibandingkan bensin murni. Akibatnya, mesin memerlukan volume bahan bakar yang lebih banyak untuk menghasilkan tenaga yang setara, yang berpotensi meningkatkan konsumsi bahan bakar.
Keputusan pembatalan pembelian ini mencerminkan tantangan yang harus dihadapi oleh industri energi Indonesia dalam menuju transisi penggunaan sumber energi yang lebih hijau. Dengan perhatian lebih terhadap spesifikasi teknis dan keselamatan, masa depan biofuel di Indonesia masih memerlukan perdebatan dan kajian mendalam.