Headline24jam.com – Pada tahun 1954, psikolog Amerika James Olds dan ilmuwan saraf Peter Milner melakukan eksperimen di mana mereka menanam elektroda ke dalam otak tikus untuk mengeksplorasi area yang memberikan rasa penghargaan melalui stimulasi elektrik. Penelitian ini dilakukan dalam sebuah “Skinner box”, di mana tikus dapat menekan tuas untuk mendapatkan hadiah berupa stimulasi otak. Penemuan ini membuka jalan bagi pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana stimulasi otak berfungsi, terutama pada manusia.
Eksperimen Awal pada Tikus
Olds dan Milner menemukan bahwa tikus tersebut secara konsisten menekan tuas untuk mendapatkan stimulasi, menunjukkan bahwa ada area di otak yang memberikan rasa nikmat. “Area tersebut memungkinkan hewan untuk melakukan stimulasi diri secara teratur dalam jangka waktu lama jika diizinkan,” ungkap para peneliti.
Penelitian Pada Manusia
Kepentingan terhadap stimulasi otak berlanjut hingga tahun 1972 ketika psikiater asal Amerika Robert Galbraith Heath menjadi peneliti pertama yang menunjukkan bahwa penghadiah otak juga berlaku untuk manusia. Dalam eksperimen yang kini dianggap kontroversial, Heath mengizinkan subjek dengan berbagai gangguan mental untuk menekan tombol guna mendapatkan stimulasi.
Kasus B-19
Salah satu kasus paling mencolok adalah subjek yang dikenal dengan sebutan “B-19”, seorang pria berusia 24 tahun yang menjalani terapi untuk depresi dan gejala lainnya. Heath menjelaskan, “Dia secara voracious menstimulasi elektroda di area septal/akumbens/pallidal,” mencatat bahwa B-19 menekan tombol hingga 1500 kali dalam satu sesi.
B-19 terlibat dalam eksperimen yang bertujuan “mengubah orientasi seksualnya,” yang kini dianggap sangat tidak etis. Heath melaporkan bahwa B-19 merasa tertekan ketika stimulasi dihentikan, “Dia meminta untuk dapat melakukan stimulasi lebih banyak.”
Kontroversi dan Etika
Meskipun Heath mengklaim stimulasi otak menyebabkan “perasaan senang dan gairah sexual,” banyak yang meragukan etika dan kredibilitas penelitian ini. “Apa yang dihasilkan adalah keinginan untuk melakukan tindakan seksual, bukan orgasme yang menyenangkan,” jelas Profesor Kent C. Berridge, seorang psikolog dan ilmuwan saraf yang meneliti studi tersebut.
Penelitian ini, yang sering dituduh gagal dalam konteks etika, meninggalkan banyak pertanyaan tentang dampak jangka panjang dari stimulasi otak dan menunjukkan bahwa eksperimentasi medis membutuhkan perhatian yang serius mengenai moralitas dan dampaknya terhadap subjek.
Kesimpulan
Walau ada kemajuan dalam bidang neurostimulasi, penting untuk terus mengedepankan etika dalam penelitian ilmiah. Dalam konteks stimulasi otak, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami kompleksitas dan potensi risiko yang menyertainya.