
Headline24jam.com – Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa banyak mitos seputar kota kuno Akhetaten, yang menjadi ibu kota Mesir selama masa pemerintahan Firaun Akhenaten di abad ke-14 SM, mungkin tidak sesuai fakta. Akhetaten, dikenal sebagai pusat berhala, selama ini diasumsikan ditinggalkan akibat wabah yang mematikan dan kematian sejumlah anggota keluarga kerajaan. Namun, analisis mendalam oleh para arkeolog menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat mengenai epidemi yang melanda kota itu.
Pembuktian yang Berbeda
Dalam studi yang diterbitkan di American Journal of Archeology, peneliti menjelaskan bahwa “bukti menunjukkan kota ini tidak terpengaruh oleh penyakit epidemi yang menimbulkan kematian besar.” Meskipun terdapat banyak hal yang diperdebatkan, terutama mengenai banyaknya kematian di kalangan bangsawan dan rakyat umum, data arkeologis menunjukkan situasi yang lebih teratur, bukan panik massal akibat wabah.
Proses Pengabaian yang Terkelola
Para peneliti menemukan bahwa Akhetaten ditinggalkan secara terencana, memberikan waktu bagi penduduknya untuk mengumpulkan barang-barang sebelum pergi. “Tidak ada tanda-tanda pengabaian massal barang-barang pribadi atau rumah tangga,” ungkap penulis riset ini. Fakta ini melemahkan narasi yang selama ini beredar tentang pelarian penduduk yang ketakutan akan penyakit.
Kontroversi Kematian Keluarga Kerajaan
Studi ini juga menyatakan bahwa angka kematian dari kalangan kerajaan mungkin tidak seburuk yang diperkirakan. Misalnya, Ratu Tiye berusia sekitar 50 tahun ketika meninggal, sedangkan putri-putri muda seperti Neferneferure dan Setepenre kemungkinan kecil terpengaruh oleh kondisi yang umum di masyarakat pra-modern. Hal ini menunjukkan bahwa kematian mereka bukan semata-mata akibat epidemi.
Narasi Sejarah yang Salah?
Mengapa kita percaya bahwa Akhetaten diserang wabah? Salah satu alasannya adalah catatan dari Kekaisaran Hittite yang sering menghubungkan penyakit dan kematian dengan konflik yang melibatkan Mesir. Dalam “Plague Prayers” milik Raja Hittite MurÅ¡ili, disebutkan bahwa wabah muncul setelah pasukan membawa tawanan Mesir kembali ke Hattusa. “Namun, bukti langsung penyakit di Akhetaten tidak ditemukan,” kata penulis yang juga merupakan profesor arkeologi di Southern Illinois University, Gretchen Dabbs.
Pelajaran dari Akhetaten
Dengan mengingat hal ini, peneliti menekankan pentingnya menyelidiki sejarah dengan lebih kritis. Mereka mengingatkan bahwa meskipun teknologi modern mungkin bisa mengidentifikasi penyakit di Amarna di masa depan, semua hasil harus dikaitkan kembali dengan konteks sejarah dan arkeologis. “Temuan ini menunjukkan pentingnya pemahaman holistik tentang penyakit dalam konteks budaya, bukan hanya sebagai fenomena terpisah,” tutup para peneliti.
Melalui penelitian ini, kevalidan informasi seputar Akhetaten kini perlu dievaluasi ulang. Kembali kepada data dan bukti yang ada adalah langkah awal dalam memahami lebih baik sejarah kota yang pernah menjadi pusat peradaban Mesir ini.