
Headline24jam.com – Setiap makhluk hidup harus menghadapi kematian pada gilirannya, termasuk spesies yang tampaknya abadi seperti ubur-ubur. Proses kematian ini bukan hanya bagian alami dari kehidupan, tetapi juga penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di Bumi, terutama melalui peran penting sisa-sisa tubuh yang memberikan nutrisi bagi kehidupan baru.
Lingkaran Kehidupan
Di lautan dalam, bangkai paus mendukung ekosistem yang kaya. Di daratan, pepohonan muda tumbuh dari sisa-sisa kayu mati. Beberapa spesies hewan perlu meletakkan telurnya dalam bangkai untuk menyelesaikan siklus hidup mereka. Proses dekomposisi yang terjadi saat materi organik membusuk tidak hanya mengembalikan nutrisi ke tanah, tetapi juga menciptakan lapisan subur yang mendukung pertumbuhan tanaman.
Ecosystem dekomposisi berfungsi untuk menghilangkan bangkai. Dari mikroorganisme hingga pemulung besar seperti burung hantu, beragam makhluk terlibat dalam proses ini untuk memastikan bahwa tidak ada yang terbuang. Tanpa proses ini, jumlah bangkai di sekitar akan meningkat, berisiko menyebarkan penyakit dan menciptakan suasana yang suram.
Praktik Pemakaman Manusia
Sejak ribuan tahun lalu, manusia telah melakukan pemakaman, tetapi proses tersebut semakin rumit. Penggunaan keranda dan cairan pengawet memungkinkan pemakaman secara terbuka, di mana jenazah dapat dipamerkan. Di sisi lain, kremasi bisa dilakukan dalam berbagai cara, mulai dari ritual di alam terbuka hingga proses industri yang tersembunyi di dalam krematorium.
Setiap metode mempengaruhi lingkungan dengan cara yang berbeda. Misalnya, tubuh yang diawetkan dengan formaldehid tidak bisa terurai dengan baik, mengakibatkan nutrisi dalam tubuh tidak kembali ke tanah. Menurut Reactions, seri video dari American Chemical Society, “cairan pengawet mengikat molekul tubuh, sehingga mikroba tidak dapat memecahnya.” Hal ini memperlambat siklus kehidupan.
Dampak Praktik Pemakaman pada Lingkungan
Penggunaan keranda dan cairan pengawet dapat memengaruhi kemampuan jenazah untuk memperkaya lingkungan. Jika tubuh diawetkan, proses dekomposisi menjadi terhambat. “Jika mikroba tidak memecah tubuh, semua nutrisi tersebut tidak akan kembali ke bumi,” kata Reactions. Dengan demikian, siklus kehidupan terputus atau setidaknya tertunda dalam waktu yang sangat lama.
Di sisi lain, kremasi juga memiliki efek samping, seperti memproduksi emisi karbon dioksida yang tinggi. Reactions menyatakan, “Kremasi mengubah tubuh menjadi uap air dan abu, yang tidak langsung bermanfaat bagi tanaman.”
Alternatif Pemakaman Ramah Lingkungan
Menyadari dampak praktik pemakaman terhadap lingkungan, alternatif baru mulai muncul. Salah satunya adalah aquamation, yang menggunakan sistem berbasis cairan untuk memecah tubuh. Selain itu, pengomposan manusia memanfaatkan mikroba untuk mengubah jenazah menjadi kompos berkualitas, yang sering disebut sebagai “emas hitam”.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa semua jenazah manusia berbagi ekosistem dekomposisi yang sama. Studi tersebut menemukan bahwa bakteri dan jamur yang terlibat dalam proses pembusukan seringkali hadir di daging manusia yang membusuk, terlepas dari kondisi geografisnya.
Dengan memahami kompleksitas kematian dan dekomposisi, kita dapat lebih menghargai kehidupan yang baru muncul dari sisa-sisa yang telah pergi.