
Headline24jam.com – Dalam acara Ngopi Bareng Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemdikbud) pada Jumat (19/9), Sekretaris Jenderal Ismail mengumumkan target peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 25 triliun untuk tahun 2026. Kenaikan ini terutama didorong oleh hasil lelang spektrum frekuensi radio, yang menjadi sumber utama pendapatan negara.
Ismail menjelaskan bahwa realisasi PNBP yang ditargetkan mencerminkan harapan untuk pertumbuhan antara tahun 2025 dan 2026. Tiga sumber utama PNBP Kemdikbud mencakup spektrum frekuensi radio, jasa telekomunikasi dari pelaku bisnis, serta Badan Layanan Umum (BLU) Universal Service Obligation (USO). Mayoritas kontribusi akan datang dari spektrum frekuensi, dengan proyeksi sekitar Rp 22 triliun.
Dibandingkan dengan realisasi PNBP pada tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut menunjukkan pertumbuhan signifikan. Hingga akhir 2024, PNBP Kemdikbud tercatat sebesar Rp 22,6 triliun, dan hingga 4 Juli 2025, Kemdikbud telah merealisasikan Rp 8,66 triliun atau 34,32% dari target APBN sebesar Rp 25,25 triliun.
Tren Positif PNBP
Kenaikan target PNBP ini mempertahankan tren positif di tahun 2025. Kemdikbud menjadi penyumbang terbesar PNBP di antara seluruh kementerian dan lembaga, dengan kontribusi sebesar Rp 3,25 triliun dari total PNBP K/L yang mencapai Rp 29,7 triliun. Angka ini melebihi kontribusi kementerian besar lainnya.
Sejak 2018, Kemdikbud telah menjadi penyumbang utama PNBP di Indonesia, dengan realisasi yang terus meningkat dari Rp 21,3 triliun pada tahun 2018 menjadi peak pada Rp 27,129 triliun di tahun 2022, meskipun mengalami penurunan di tahun 2023 menjadi Rp 24,5 triliun.
Tantangan di Sektor Telekomunikasi
Target PNBP yang ditetapkan mencapai Rp 25 triliun, menunjukkan peran vital Kemdikbud dalam kemajuan national. Namun, sektor telekomunikasi masih mengalami tantangan besar, terutama terkait tingginya regulatory charge yang membebani operator. Tercatat, beban biaya ini telah melampaui indeks global, mengakibatkan penurunan investasi operator dalam pengembangan infrastruktur.
Regulatory charge, termasuk BHP frekuensi, BHP telekomunikasi, dan BHP USO, sangat membebani operator. Banyak operator mengalami kesulitan, bahkan ada yang bangkrut akibat ketidakmampuan membayar biaya ini. Laporan GSMA mencatat bahwa biaya spektrum frekuensi di Indonesia telah meningkat 12,2%, jauh di atas rata-rata kawasan Asia Pasifik.
Ketimpangan Antara Operator dan OTT
Ironisnya, meski operator telekomunikasi membayar biaya tinggi, pemain over-the-top (OTT) yang memanfaatkan infrastruktur mereka tidak dikenakan biaya serupa. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam ekosistem digital. Dian Siswarini, Ketua Atsasi dan Direktur Utama PT Telkom, mengemukakan perlunya pemerintah menerapkan aturan yang setara untuk semua pemain di industri.
Sementara ekosistem digital di Indonesia terus tumbuh, dorongan untuk menyeimbangkan beban antara operator dan OTT menjadi semakin mendesak. Pendekatan pemerintah yang adil diharapkan mampu memberikan keadilan bagi semua pihak yang berkontribusi terhadap ekonomi digital yang berkembang pesat.